Demokrasi “Seolah-olah”

TINGGAL selangkah lagi, rakyat Kalimantan Selatan punya pemimpin baru. Bersamaan dengan itu di tujuh kabupaten/kota, berlangsung pula agenda yang sama. Memilih kepala daerah. Serentak.

Pemilihan kepala daerah alias Pilkada serentak (mulanya) dimaksudkan untuk mengurangi politik biaya tinggi dan menekan politik uang. Pembiayaan kampanye dibebankan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), melalui Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
Komisi Pemilihan Umum daerah, Badan Pengawas Pemilu daerah, dan Panitia Pemungutan Suara pada pilkada ini, umumnya masih diisi orang-orang yang sama dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden lalu.
Pembiayaan kampanye oleh negara merupakan langkah afirmasi bagi para kandidat yang tidak memiliki modal besar. Siapa pun dapat ikut berkontes dalam pilkada, dan kandidat calon kepala daerah “tak perlu” lagi memikirkan dana kampanye.
Meski pembiayaan kampanye ditanggung negara, calon berkantong tipis tetap perlu berjuang keras. Kandidat bermodal besar lebih leluasa menggunakan uangnya, karena sebagian dana untuk kampanye sudah ditanggung rakyat melalui negara. Mulai dari “mahar” hingga membeli suara.
Walau sedikit yang bisa dibuktikan, pengalaman menunjukkan dari setiap pemilu dan pilkada tidak dapat lepas dari politik uang. Misalnya “serangan fajar” atau beberapa jam menjelang pemilihan, para calon melalui tim sukses dan antek-anteknya mengeluarkan uang untuk membeli suara. Bisa juga dilakukan beberapa hari sebelumnya.
Aturan demikian ketat. Tapi bukan politisi jika tak bisa menyiasati. Situasi seperti sekarang ini malah makin menyulitkan mekanisme kontrol.
Kampanye, misalnya. Para kandidat dan tim suksesnya mengoptimalkan pertemuan-pertemuan terbatas. Majelis taklim, persekutuan doa, aktivitas sanggar dan komunitas-komunitas lain, jadi ajang temu muka, tebar pesona dan bagi-bagi uang.
Praktik ini sulit dibuktikan karena politik uang dikemas sedemikan rupa dalam pertemuan- pertemuan terbatas seperti itu. Makanya penyelenggara dan pengawas pemilu, termasuk masyarakat harus bahu membahu untuk mewaspadai dan mengawasi praktik politik uang itu.
Masalah yang perlu diatasi ialah: umumnya masyarakat masih memahami partisipasi politik semata-mata urusan coblosan di bilik suara. Karena itu, menjadi tugas semua pihak untuk terus-menerus mengingatkan bahwa partisipasi politik harus dipahami secara lebih fundamental.
Partisipasi politik harus dimaknai sebagai keterlibatan sukarela dan bermakna semua orang dalam proses penyelenggaraan kepentingan bersama. Semua pihak harus berperan dalam menggalakkan pendidikan politik untuk para pemegang hak pilih.
Di sisi lain kekuatan-kekuatan politik juga tak tinggal diam. Ada saja gelagat ingin kembali menggunakan media sebagai instrumen untuk memobilisasi dukungan masyarakat, sebagaimana yang mereka lakukan pada Pemilu 2014.
Satu lagi harapan ialah peran tokoh agama dan tokoh masyarakat. Namun kaum politisi juga tak kalah sigap merekrut orang-orang yang jadi panutan ini. Bahkan ada yang terang-terangan merekrutnya sebagai anggota tim sukses mereka.
Dalam situasi seperti ini masyarakat dibiarkan memilih jalannya sendiri untuk menentukan pilihan. Peran negara yang diwujudkan melalui penyelenggara dan pengawas pemilu, jelas tidak bisa dilaksanakan secara optimal, melainkan sekadar formalitas semata mengikuti petunjuk aturan.
Diperlukan kesadaran bersama untuk melaksanakan hajat politik secara jujur dan adil. Ketika negara tidak mampu optimal membimbing rakyat berdemokrasi, dan kaum elite asyik memainkan politiknya dengan cara “membeli” suara, maka demokrasi “seolah-olah”lah yang akan terjadi. (*)
Sumber: http://banjarmasin.tribunnews.com/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Nama-nama Mesjid di Banjarmasin

Sejarah panjang RUMAH Anno 1925 di Banjarmasin

Pengertian Dari Margin of error