Masa Sultan Adam, pemerintahan berada di Keraton
Surat Wasiat Sultan Adam Untuk Pangeran Hidayatullah |
Sulthan Adam
Alwatzik Billah bin Sultan Sulaiman Saidullah II adalah Sultan Banjar yang
memerintah antara tahun 1825-1 November 1857. Sultan Adam dilahirkan di desa
Karang Anyar, Karang Intan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Indonesia.
Sultan Adam putra
tertua dari Sultan Sulaiman Rahmatullah yang berjumlah 23 orang. Sultan Adam
memiliki saudara kandung sebanyak 5 orang dan saudara seayah 17 orang.
Pada masa Sultan
Adam, pusat pemerintahan berada di Keraton, Sasaran dan Pasayangan (Jl.Demang
Lehman), Martapura. Pada 28 September
1849, Gubernur Jenderal J.J. Rochussen datang ke Pengaron di Kesultanan Banjar
untuk meresmikan pembukaan pertambangan batu bara Hindia Belanda pertama yang
dinamakan Tambang Batu Bara Oranje Nassau Bentang Emas.
Ia mendapat gelar
Sultan Muda sejak tahun 1782. Ketika kemangkatan Sultan Adam pada tanggal 1
November 1857 terjadi krisis suksesi. Ketika mangkatnya terdapat 23 Pangeran
keluarga dekat Sultan Adam terdiri : 3 anak, 13 cucu, 3 saudara, 4 sepupu
(belum termasuk ratu/puteri/gusti beserta suaminya masing-masing). Trah Sultan Adam
bergabung di dalam organisasi Yayasan Sultan Adam.
Sistem sosial pada masa Sultan Adam
Masyarakat Banjar
pada pemerintahan Kesultanan terdiri dua golongan besar :
Orang Jaba, yang
merupakan golongan terbesar dalam masyarakat, terdiri dari petani, tukang,
pedagang, nelayan sungai.Golongan teratas
adalah para bangsawan (Tutus) dan golongan pejabat birokrasi. Sultan Adam
mempunyai hak prerogatif dalam masalah-masalah politik dan agama. Hak tersebut
tertulis dalam peraturan hukum yang ditulis tahun 1835 yang dikenal sebagai
Undang-Undang Sultan Adam.
Dibawah Sultan Adam
dari anggota kelompok keturunan Sultan, hanya dua orang yang termasuk dalam
organisasi administratif yaitu Sultan Muda dan Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Mangkubumi
adalah kepala dari pusat birokrasi.
Fungsi pengadilan
agama dijalankan oleh : Hakim Besar, yang terdiri dari :
Kepala Qadi
Kepala Mufti
Kepala Chalifah.
Dibawah Mangkubumi
adalah kelompok kepala yang dikenal sebagai Mantri yang memperoleh titel dalam
tingkatan hierarkis seperti :
Adipati
Tumenggung
Kiai Demang
Aria
Ngabehi
Pambakal
Neyarsa
Menurut komisaris
Belanda, Van der Ven dalam tahun 1857, masyarakat Banjar terdiri dari 6 kelas :
Raja dan kaum
bangsawan
Golongan ulama
Pemimpin rakyat
Rakyat umum
Orang berhutang
Budak
Tahun 1845
Pada tahun 1845
Hindia-Belanda mengangkat Gubernur di Banjarmasin bernama A.L. Weddik dan
ditetapkan batas-batas kesultanan Banjar dengan wilayah Hindia Belanda yaitu
mulai tepi antasan Kuwin dan Barito sampai di Kuala Mangkatip dan dari situ
ditarik garis menuju utara-timur laut sampai di gunung Luang, kemudian dari
gunung Luang menuju selatan menurut sepanjang pegunungan Meratus sampai Liang
Anggang, kemudian dari situ menuju Tambak Linik menuju pertemuan sungai
Martapura dan sungai Kuwin.[18]
Krisis Suksesi
Pada waktu Sultan
Adam Al Wasik Billah menjadi Sultan, dia memerintah didampingi oleh Sultan Muda
Abdurrahman, yaitu putera mahkota calon pengganti Sultan kalau Sultan mangkat.
Untuk merukunkan keluarga di antara keturunan Tamjidillah dengan keturunan
Sultan Kuning (Sultan Ilhamidullah), maka Sultan Suleman al Mutamidullah
sewaktu Sultan ini masih hidup, mengawinkan cucunya Sultan Muda Abdurrahaman
dengan Ratu Antasari, adik dari Pangeran Antasari. Sayangnya isterinya ini meninggal
sebelum melahirkan seorang putera.
Dalam tahun 1817 lahirlah seorang putera
Sultan Muda Abdurrahman dari seorang selir keturunan Cina Pacinan, Nyai Besar
Aminah yang diberi nama Pangeran Tamjidillah. Sultan Muda Abdurrahman
menghendaki agar Pangeran Tamjidillah diterima sebagai raja penerus keturunan
kerajaan. Sultan Suleman dan Sultan Adam menolak usul ini sebab bertentangan
dengan tradisi yang berlaku di dalam kerajaan. Untuk mencari keturunan yang
sah, Sultan Muda Abdurrahman dikawinkan lagi dengan seorang bangsawan Ratu
Siti, puteri Pangeran Mangkubumi Nata.
Tahun 1822 lahirlah putera yang
dinanti-nantikan, diberi nama Pangeran Hidayatullah, 5 tahun lebih muda dari
Pangeran Tamjidillah. Kedua putera Sultan Muda ini berlainan watak dan tingkah
lakunya dan akan menimbulkan bibit pertentangan di antara keduanya. Pangeran
Tamjidillah sangat menyenangi pergaulan dengan orang-orang Belanda,
minum-minuman keras menjadi kebiasaannya. Pangeran Hidayat, seorang yang taat
menjalankan ibadah agama dan sangat disenangi oleh kaum ulama. Malapetaka
Kerajaan Banjar diawali dengan matinya secara mendadak Sultan Muda Abdurrahman
pada tahun 1852. Sejak meninggalnya Sultan Muda Abdurrahman ini timbullah
benih-benih pertentangan antara keluarga bangsawan dan merupakan salah satu
faktor hancurnya Kerajaan Banjar. Sejak itu ada tiga golongan yang berebut
kuasa dalam kerajaan, yaitu :
Pangeran
Tamjidillah, putera Sultan Muda Abdurrahman dengan Nyai Besar Aminah, seorang
Cina Pacinan. Tingkah lakunya tidak disenangi para ulama dan bangsawan, karena
senang bergaul dengan Belanda dan senang bermabuk-mabukan. Karena terbiasa
membantu Pangeran Mangkubumi Nata berurusan dengan Residen, karena itu ia
dikenal dikalangan orang-orang Belanda dan disenangi oleh kalangan tersebut.
Pangeran
Hidayatullah, putera Sultan Muda Abdurrahman dengan seorang bangswan Ratu Siti,
puteri Pangeran Mangkubumi. Dia seorang yang taat beribadat, berakhlak terpuji
dan disenangi kalangan luas kaum ulama dan masyarakat Banjar.
Pangeran Prabu Anom,
putera Sultan Adam Al Wasik Billah adik Sultan Muda Abdurrahman. Ibunya Ratu
Komala Sari yang sangat besar pengaruhnya di kalangan Dewan Mahkota dan Sultan
Adam. Ibunya sangat berambisi untuk menjadikan Pangeran Prabu Anom menjadi
Putera Mahkota.
Prabu Anom dikenal sebagai seorang yang bertindak
sewenang-wenang dan tindakannya sering menyakitkan hati masyarakat.
Selain Sultan Muda
Abdurrahman yang meninggal tahun 1852 juga Pangeran Mangkubumi Nata meninggal
lebih dahulu. Kehilangan kedua pejabat teras kerajaan ini merumitkan urusan
politik kerajaan, disamping itu ada 3 kelompok yang bersaing memperebutkan
kedudukan sebagai Sultan Muda dan Mangkubumi. Baik Sultan Suleman al
Mutamidillah, maupun Sultan Adam Al Wasik Billah telah melihat pertentangan
keluarganya yang terjadi semenjak Sunan Nata Alam (1761-1801) yang kemudian
dengan perkawinan. Usaha ini juga dijalankan untuk menghadapi bahaya dari pihak
luar khususnya Belanda yang senantiasa mendesak kekuasaan dan mempersempit
ruang gerak Sultan.
Belanda berusaha untuk selalu menghidupkan pertentangan
keluarga sesuai dengan politik dan strategi penjajah divide et empera, pecah
belah dan kuasai. Dari pertentangan dan perebutan kekuasaan ini Belanda akan
memperoleh keuntungan. Pihak Belanda telah memperhitungkan bahwa dari ketiga
kelompok yang bersaing ini, hanya dari Pangeran Tamjidillah-lah yang dapat
diharapkan keuntungan itu, dan dari dialah diharapkan akan memperoleh konsesi
tambang batu bara Oranje Nassau.
Oleh karena itu, Residen van Hengst di
Banjarmasin (1851-1953), Residen Belanda yang berkedudukan di Banjarmasin
mengusulkan pada Pemerintah Belanda di Batavia agar Pangeran Tamjidillah
diangkat sebagai Sultan Muda. Dalam bulan April 1853, Sultan Adam telah
mengirim utusan ke Batavia untuk minta diberikan keadilan terhadap
permintaannya menjadikan Pangeran Hidayat sebagai Sultan Muda dan Pangeran
Prabu Anom sebagai Mangkubumi dan menolak pengangkatan Pangeran Tamjidillah.
Permintaan ini ditolak oleh Belanda, bahkan utusannyapun tidak diterima secara
resmi. Yang dilakukan Belanda hanya mengganti Residen van Hengst dengan Residen
A. van der Ven. Tidak ada pilihan lain dari Sultan Adam, selain membuat Surat
Wasiat yang hanya dibuka dan dibaca bila Sultan meninggal. Isi surat wasiat
(testamen) itu antara lain:
Sultan Adam Al Wasik
Billah memberi gelar kepada Pangeran Hidayatullah dengan gelar Sultan
Hidayatullah.
Sultan Adam Al Wasik
Billah mengangkat Pangeran Hidayatullah menjadi penguasa agama, mewariskan
semua tanah ke sultanan dan semua padang perburuan.
Sultan Adam Al Wasik
Billah memerintahkan kepada seluruh rakyat untuk mentaati hal ini, dan jika
perlu mempertahankannya dengan kekerasan.
Surat wasiat ini
ditambah lagi dengan tiga ayat tambahan yang berbunyi :
Pangeran
Hidayatullah menggantikan Sultan Adam Al Wasik Billah bila ia meninggal dunia,
dan memerintahkan rakyat dengan penuh keadilan, dan benar-benar mengikuti
perintah agama Islam. Sultan Adam Al Wasik
Billah memerintahkan kepada semua Pangeran lainnya untuk mengikuti Pangeran
Hidayatullah sebagai sultan, dan mengutuknya sampai anak cucunya bila hal ini
dilanggar.
Perintah yang sama
kepada para haji, ulama dan tetuha kampung. Pada tanggal 8 Agustus 1852
Pangeran Tamjidillah diangkat menjadi Sultan Muda oleh Pemerintah Belanda,
disamping tugasnya sebagai Mangkubumi, dan ia bertempat tinggal di Banjarmasin.
Terhadap pengangkatan ini Sultan Adam telah melaporkan kepada Pemerintah
Belanda di Batavia tentang tindakan ketidakadilan ini, tetapi tidak
diperhatikan oleh Belanda. Ratu Komala Sari, permaisuri mengajukan puteranya
Pangeran Prabu Anom sebagai Mangkubumi, yang juga ditolak oleh Belanda.
W.A. van Rees dalam
De Bandjermasinsche Krijg melukiskan sebagai berikut : Menurut adat yakni
menurut norma-norma hukum yang umum dimana-mana pengganti raja berdasarkan
garis keturunan yang lurus, tidak ada orang lain yang berhak dapat menjadi
pengganti raja selain Hidayat. Tamjidillah walaupun anak yang lebih tua dari
Hidayat, tetapi ia adalah darah campuran tidak tutus yang tidak akan mungkin
memangku sebagai sultan selama masih ada turunan yang berhak menurut
undang-undang.
Selain dari hak turun temurun yang tidak dapat diganggu gugat,
tampaknya Hidayat mendapat anugerah untuk menduduki kedudukan yang paling
tinggi itu dari sifatnya yang wajar. Sejalan dengan kesetiaan taat bertakwa
menjalankan ibadah agama, Hidayat adalah pencinta tanah air (patriot) yang
bernyala-nyala, suka memberikan pertolongan dan seorang budiman, sehingga
dihormati oleh tiap-tiap orang, juga oleh Sultan Adam
Situasi makin
bertambah buruk sehingga menyulitkan pemerintah Belanda sendiri, akhirnya
Belanda mengubah sikapnya dengan mengangkat Pangeran Hidayat sebagai Mangkubumi
pada 9 Oktober 1856. Dalam surat pengangkatannya tertulis sebagai berikut :
Hadjrat Annabi Salalahu alaihi wassalam seribu dua ratus tudjuh poeloeh tiga
pada kesembilan hari boelan Sjafar kepada hari Chamis djam poekoel sepoeloeh
pagi-pagi.”
Mendjadi hadjrat Almasih kesembilan hari boelan Oktober tahoen
seriboe delapan ratoes lima poeloeh enam maka desawa itoelah sahaja Pangeran
Hidayat Allah jang dengan permintaan Sri Padoeka Toean Sultan Adam Al Wasik
Billah yang mempoenyai tahta keradjaan Bandjarmasin beserta moefakatan dengan
Sri Padoeka Toean van de Graaf Residen Bandjarmasin jang memegang koesa atas
tanah sebelah selatan dan timoer poelaoe Borneo soedah terima oleh Sri Paduka
Jang Dipertoen Besar Gurnadoer Djenderal dari tanah Hindia Niderland jang
bersemajang di Betawi. Mendjadi Mangkoeboemi di Keradjaan Bandjarmasin
bepersembahan soerat persoempahan ini dichadirat Goebermin Hindia Nederland
pada menjatakan: Ha Mim Allah wal Rasoel
Surat pengangkatan
itu dilanjudkan dengan sumpah kesetiaan kepada Sultan, Sri Paduka Tuan Sultan
Banjarmasin, dan kesetiaan kepada Goebernemin Hindia Nederland. Pengangkatan
Pangeran Hidayatullah sebagai Mangkubumi dilakukan oleh Belanda setelah
sebelumnya Belanda dengan licin menekan Sultan menandatangani persetujuan
pemberian konsesi tambang batu bara kepada Belanda 30 April 1856. Pangeran
Hidayat menyadari bahaya pemberian konsesi tambang batu bara ini, tetapi dia
tak berdaya menghadapinya apalagi setelah Belanda menempatkan serdadunya di
pusat-pusat tambang batu bara mereka. Selain menetapkan Pangeran Tamjidillah
sebagai Sultan Muda, pengangkatan Pangeran Hidayat sebagai Mangkubumi, Belanda
juga menahan Pangeran Prabu Anom di Banjarmasin bertempat tinggal di rumah
menantunya Pangeran Syarif Hussein.
Daerah itu sekarang menjadi Kampung Melayu.
Oleh karena tindakan Belanda ini, Sultan Adam yang sudah tua dan hampir putus
asa oleh hal-hal tersebut di atas telah membuat testamen yang diberikan kepada
Mangkubumi Pangeran Hidayat, Kadhi di Martapura dan Kadhi di Amuntai. Situasi
ini menyebabkan dia sakit. Sebelum dia meninggal dia minta dibawa kembali ke
Martapura dan minta dikuburkan di sana. Pada tanggal 30 Oktober 1857 Sultan
Adam sakit keras, maka dia dibawa ke Martapura dan meninggal tanggal 1 November
1857. Sebelum Sultan Adam Al Wasik Billah mangkat, Pangeran Tamjidillah
mengirim surat rahasia kepada Gubernur Jenderal Rochussen, melalui Residen di
Banjarmasin. Isi surat itu bahwa ia akan mengusahakan segala kemungkinan supaya
kelak tanah konsesi tambang batu bara Oranje Nassau menjadi milik Pemerintah
Hindia Belanda.
Selanjutnya dikatakannya bahwa dia akan melaksanakan segala
keinginan yang dikehendaki oleh Pemerintah Hindia Belanda di Betawi asal ia
akan mengganti ayahnya sebagai sultan di Kerajaan Banjar, apabila Sultan Adam
wafat. Pemerintah di Betawi menyetujui usul itu. Ketika Sultan Adam Al Wasik
Billah meninggal pada tanggal 1 November 1857 karena sakit, tanpa sepengetahuan
Dewan Mahkota, yaitu sesudah dua hari pemakaman almarhum Sultan, pemerintah
Belanda menobatkan Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan. Prabu Anom putera
Sultan Adam dengan Ratu Komala Sari ditangkap oleh Belanda, karena menurut pertimbangan
Belanda kalau Pangeran Prabu Anom berada di Banjarmasin akan membahayakan, dan
dia dibuang ke Jawa.
Pengangkatan Sultan Tamjidillah itu membuat kalangan kaum
bangsawan merasa tidak puas, karena pengangkatan ini sangat melanggar tradisi
Istana, melanggar surat wasiat Sultan Adam Al Wasik Billah, disamping, tingkah
laku Sultan Tamjidillah yang sejak semula tidak disenangi oleh kaum bangsawan
dan rakyat Banjar. Sultan lebih mendahulukan kepentingan pemerintah Belanda
dari kepentingan dan nasib rakyat. Kebiasaan minum-minuman keras sangat
menjengkelkan kalangan agama dan kaum ulama. Antara Sultan dengan Mangkubumi
Pangeran Hidayatullah yang berkedudukan di Martapura tidak terdapat kerjasama
dan saling curiga mencurigai.
Dalam situasi demikian Sultan Tamjidillah mencoba
memikat Mangkubumi Pangeran Hidayatullah dengan cara mengawinkan puterinya
puteri Bulan dengan putera Mangkubumi, Pangeran Amir. Perkawinan politik ini
dimaksudkan agar terjadi keakraban dan dapat menghasilkan kerjasama dalam
pemerintahan kerajaan. Namun usaha ini tidak menghasilkan apa-apa, bahkan
kecurigaan makin menjadi lebih tebal, sebab sejak kecil sudah dipupuk dengan
rasa benci satu sama lain. Apalagi siasat dari Sultan Tamjidillah untuk
menjatuhkan Mangkubumi dengan cara tipu muslihat makin mengeruhkan suasana.
Tindakan pertama yang menyakitkan hati rakyat setelah pengangkatan Pangeran
Tamjidillah menjadi Sultan tanggal 3 November 1857, ialah (4 November 1857)
Residen mengizinkan dengan bantuan serdadu yang ada di Martapura untuk menangkap
Pangeran Prabu Anom, pamannya sendiri. Pangeran Prabu Anom pergi ke Martapura
lari dari tahanannya di Banjarmasin karena mengurusi pemakaman ayahnya Suldan
Adam al Wasik Billah. Alasannya dan tuduhan yang dikenakan pada dirinya ialah
bahwa Pangeran Prabu Anom membahayakan tahta, tetapi penangkapan itu tidak
berhasil.
Rakyat menjadi saksi atas tindakan Sultan baru ini dalam usahanya
menangkap pamannya Pangeran Prabu Anom. Lima hari setelah pemakaman Sultan Adam
Al Wasik Billah yang sangat dicintai rakyat, keraton Martapura ditembaki
serdadu Belanda untuk menangkap anak raja. Prabu Anom akhirnya ditangkap dengan
tipu muslihat pada permulaan tahun 1858 dan di buang ke Jawa. Rakyat umum
berpendapat, seperti kata Residen J.J. Meijer kemudian, bahwa dengan pengangkatan
Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan yang ke-13 akan timbul bermacam bala
bencana karena kelahirannya dan perbuatannya sama sekali bertentangan dengan
adat tradisi yang berlaku dan bertentangan dengan agama Islam. Dia lahir dari
tindakan di luar nikah menurut agama, karena ibunya (gundik) yang baru dinikahi
setelah mengandung beberapa bulan sebelum melahirkan Tamjidillah.
Taman Hutan Raya
Nama Sultan Adam
diabadikan sebagai nama Taman Hutan Raya di Kalimantan Selatan yaitu Taman Hutan
Raya (Tahura) Sultan Adam.
Sumber : Wikipedia, kerajaanbanjar.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar